SOSIAL - Dalam hiruk-pikuk kehidupan yang sibuk, sering kali kita terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa akan esensi keberadaan kita. Kita berlari mengejar ambisi, sibuk mengukir prestasi, atau bahkan tenggelam dalam upaya memenuhi ekspektasi orang lain. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk bertanya, "Untuk siapa sebenarnya kita dilahirkan?"
Pertanyaan ini sederhana, tetapi jawabannya tidak selalu mudah ditemukan. Banyak dari kita tanpa sadar hidup untuk orang lain—mencoba membahagiakan keluarga, membuktikan diri kepada teman, atau bahkan mencari pengakuan dari masyarakat. Padahal, sering kali dalam perjalanan itu, kita mengorbankan kebahagiaan dan jati diri kita sendiri.
Baca juga:
Tony Rosyid: Tunda Pemilu dan PJ Presiden
|
Manusia, sejak lahir, adalah individu yang unik dengan tujuan hidup masing-masing. Tetapi, tekanan sosial sering kali membuat kita terjebak dalam standar "keberhasilan" yang ditentukan oleh orang lain. Pendidikan tinggi, pekerjaan bergengsi, pernikahan ideal—semua ini sering kali menjadi tolak ukur yang membuat kita merasa harus memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitar kita. Dan saat kita gagal mencapainya, rasa bersalah, kecewa, bahkan putus asa mulai menggerogoti.
Namun, hidup tidak semata-mata soal memenuhi ekspektasi. Jika kita terus mengejar validasi eksternal, kita hanya akan lelah tanpa pernah benar-benar merasa cukup. Sebaliknya, hidup adalah tentang menemukan makna dan menjalani peran yang memang kita pilih, bukan yang dipaksakan kepada kita.
Kadang kita lupa bahwa hidup kita bukanlah panggung untuk membuat semua orang terkesan. Kita dilahirkan untuk menemukan kebahagiaan sejati, yang hanya bisa diraih jika kita hidup sesuai dengan nilai dan tujuan pribadi. Itu bukan berarti kita tidak peduli pada orang lain—justru, ketika kita bahagia dan merasa utuh, kita bisa memberikan dampak yang lebih besar bagi orang-orang di sekitar kita.
Mungkin, saatnya kita berhenti sejenak dari kesibukan ini. Bertanya kepada diri sendiri: apa yang benar-benar membuat saya bahagia? Apa yang ingin saya capai, bukan karena orang lain menginginkannya, tetapi karena hati saya mengarah ke sana?
Baca juga:
Tony Rosyid: Firli dan Prahara di KPK
|
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan hanya memenuhi ekspektasi orang lain. Kita dilahirkan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, bukan bayangan dari keinginan orang lain. Maka, mari berhenti sejenak, merenung, dan berani memilih jalan kita sendiri. Sebab, pada akhirnya, hidup kita adalah milik kita, bukan milik mereka.
Untuk siapa kita dilahirkan? Jawabannya ada dalam diri kita sendiri.
Mesuji, 21 Desember 2024
Udin Komarudin
Ketua DPD. Jurnalis Nasional Indonesia